BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berkembangnya sistem kepartaian di
Indonesia, yang disertai dengan banyaknya berbagai aspirasi-aspirasi dari
masyarakat yang tidak dapat dikoordinir dengan baik, dengan sendirinya menyebabkan
banyaknya usaha-usaha dari para elite politik yang berkuasa untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok diatas kepentingan rakyat. Banyaknya
kasus KKN yang masih tak terselesaikan di negeri ini salah satunya adalah
akibat dari sistem partai politik yang diterapkan di negeri ini dinilai tidak
sesuai.
Suatu sistem kepartaian di suatu
negara disebut kokoh dan adaptabel, apabila sistem kepartaian tersebut mampu
menyatukan berbagai aspirasi menjadi satu kesepakatan bersama yang mengutamakan
kepentingan rakyat. Dari sudut pandang ini, jumlah partai sangat menentukan
keefektifan partai politik pada suatu negara dalam mengkoordinir berbagai
aspirasi yang mengutamakan kepentingan masyarakat banyak atau rakyat. Sistem
kepartaian yang kokoh, sekurang-kurangnya harus memiliki dua kapasitas.
Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga dapat
mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Kedua,
mengcakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi,
yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan kuat yang dihadapi oleh sistem
politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan
organisasi-organisasi yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna
mengasimilasikan kelompok-kelompok baru ke dalam sistem politik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Sistem kepartaian
apa yang dianut oleh negara Indonesia?
2.
Apa
kelebihan dan kekurangan dari sistem kepartaian yang ada ?
3.
Apakah
sistem kepartaian yang dianut oleh negara Indonesia sudah sesuai dengan harapan
bangsa Indonesia jika dikaitkan pula dengan sistem pemerintahan presidensial
yang dianut oleh Indonesia?
4.
Bagaimana
upaya penyelesaian permasalahan mengenai sistem kepartaian di Indonesia yang
dinilai tidak sesuai untuk diterapkan?
C.
Tujuan penulisan
1.
Mengetahui
dan memahami sistem kepartaianyang dianut oleh negara Indonesia .
2.
Mengetahui
dan memahami kekurangan dan kelebihan dari sistem kepartaian.
3.
Mengidentifikasi
dan memahami manfaat yang telah dirasakan bangsa Indonesia mengenai sistem kepartaian
yang dianut apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial.
4.
Mengetahui
cara penyelesaian permasalahan mengenai sistem kepartaian di Indonesia yang
dinilai tidak sesuai untuk diterapkan.
D.
Manfaat penulisan
1.
Manfaat
teoritis
Makalah ini diharapkan mampu menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai sistem kepartaian yang di terapkan di Indonesia yang kemudian dapat
memahami sistem yang sesuai dengan perpolitikan di Indonesia.
2.
Manfaat praktis
Penulisan makalah ini dapat
dijadikan sebuah referensi atau acuan bagi pembaca dalam memahami sistem kepartaian di
suatu negara khususnya di Indonesia untuk diterapkan dalam kehidupan berpolitik
sehari-hari .
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sistem
Kepartaian Negara Indonesia
Konsititusi kita (UUD 1945) tidak mengamanatkan secara
jelas sistem kepartaian apa yang harus diimplementasikan. Meskipun demikian
konstitusi mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem multi
partai. Pasal tersebut adalah pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut
sistem multi partai karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan
wakil presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kata
“gabungan partai poltitik” artinya paling sedikit dua partai politik yang
menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden untuk bersaing dengan calon
lainnya yang diusung oleh partai politik lain. Dengan demikian dari pasal
tersebut di dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat
tiga partai politik.
Kenyataanya, Indonesia telah menjalankan sistem multi
partai sejak Indonesia mencapai kemerdekaan. Surat Keputusan Wakil Presiden M.
Hatta No X/1949 merupakan tonggak dilaksanakannya sistem multi partai di Indonesia.
Keputusan Wapres ini juga ditujukan untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu
yang pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut diikuti oleh 29 partai
politik dan juga peserta independen (perseorangan). Beberapa partai politik
yang mendapatkan suara signifikan pada pemilu pertama antara lain PNI (22,32%),
Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%), PSII (2,89%), Parkindo (2,66%),
PSI (1,99%), Partai Katolik (2,04%), dan IPKI (1,43%).
Sejak Suharto menjadi presiden pada tahun 1967 partai
politik dianggap sebagai penyebab dari ketidakstabilan politik yang terjadi
pada tahun 1950an - 1960an. Oleh karena itu agenda yang penting untuk
menciptakan pemerintahan yang stabil adalah melakukan penyederhanaan partai
politik. Pada pemilu pertama di masa Orde Baru, thaun 1971, terdapat 10 partai
politik, termasuk partai pemerintah (Golkar) ikut berkompetisi memperebutkan
kekuasaan. Pada tahun 1974 Presiden Suharto melakukan restrukturisasi partai
politik, yaitu melakukan penyederhanaan partai melalui penggabungan
partai-partai politik. Hasil dari restrukturisasi partai politik tersebut
adalah munculnya tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI). PPP merupakan
hasil fusi dari beberapa partai politik yang berasaskan Islam (NU, Parmusi,
PSII dan Perti). PDI merupakan hasil penggabungan dari partai-partai nasionalis
dan agama non-Islam (PNI, IPKI, Parkindo, Katolik). Sedangkan Golkar adalah
partai politik bentukan pemerintah Orde Baru.
Meskipun dari sisi jumlah partai politik yang berkembang
di Indonesia pada saat itu, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang
menganut sistem multi partai, banyak pengamat politik berpendapat bahwa sistem
kepartaian yang dianut pada era Orde Baru adalah sistem partai tunggal. Ada
juga yang menyebut sistem kepartaian era Orde Baru adalah sistem partai
dominan. Hal ini dikarenakan kondisi kompetisi antar partai politik yang ada
pada saat itu. Benar, jika jumlah partai politik yang ada adalah lebih dari dua
parpol sehingga dapat dikategorikan sebagai sistem multi partai. Namun jika dianalisis
lebih mendalam ternyata kompetisi diantara ketiga partai politik di dalam
pemilu tidak seimbang. Golkar mendapatkan “privelege” dari pemerintah
untuk selalu memenangkan persaingan perebutan kekuasaan.
Gerakan reformasi 1998 membuahkan hasil liberalisasi
disemua sektor kehidupan berbangasa dan bernegara, termasuk di bidang politik.
Salah satu reformasi dibidang politik adalah memberikan ruang bagi masyarakat
untuk mendirikan partai politik yang dianggap mampu merepresentasikan politik
mereka. Liberalisasi politik dilakukan karena partai politik warisan Orde Baru
dinilai tidak merepresentasikan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.
Hasilnya tidak kurang dari 200 partai politik tumbuh di dalam masyarakat. Dari
ratusan parpol tersebut hanya 48 partai yang berhak mengikuti pemilu 1999.
Pemilu 1999 menghasilkan beberapa partai politik yang mendapatkan suara yang
signifikan dari rakyat Indonesia adalah PDI.Perjuangan, P.Golkar, PKB, PPP, dan
PAN.
Peserta pemilu tahun 2004 berkurang setengah dari jumlah
parpol pemilu 1999, yaitu 24 parpol. Berkurangnya jumlah parpol yang ikut serta
di dalam pemilu 2004 karena pada pemilu tersebut telah diberlakukan ambang
batas (threshold). Ambang batas tersebut di Indonesia dikenal dengan Electoral
Threshold. Di dalam UU No 3/1999 tentang Pemilu diatur bahwa partai
politik yang berhak untuk mengikuti pemilu berikutnya adalah partai politik
yang mendapatkan sekurang-kurangnya 2% jumlah kursi DPR. Partai politik yang
tidak mencapai ambang batas tersebut dapat mengikuti pemilu berikutnya harus
bergabung dengan partai lain atau membentuk partai politik baru.
Kalau pemilu 1999 hanya menghasilkan lima parpol yang
mendapatkan suara signifikan dan mencapai Electoral Threshold (ET).
Meskipun persentasi ET dinaikan dari 2% menjadi 3% jumlah kursi DPR, Pemilu
2004 menghasilkan lebih banyak partai politik yang mendapatkan suara signifikan
dan lolos ET untuk pemilu 2009. Pemilu 2004 menghasilkan tujuh partai yang
mencapai ambang batas tersebut. Ketujuh partai tersebut adalah P.Golkar, PDI.
Perjuangan, PKB, PPP, P.Demokrat, PKS, dan PAN.
B.
Kelebihan
dan Kekurangan Sistem Kepartaian
Klasifikasi sistem kepartaian jika
dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya maka partai politik dapat
dibagi menjadi dua jenis; partai massa dan partai kader. Jika dilihat dari segi
sifat dan orientasinya partai politik dibagi dua jenis; partai lindungan dan
partai ideologi atau azas. Di dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik yang ditulis
Prof. Miriam Budiardjo sistem klasifikasi kepartaian yang lebih banyak
digunakan dalam ranah demokrasi yakni :
1.
Sistem Partai Tunggal
2.
Sistem Dwi Partai
3.
Sistem Multi Partai
1.
Sistem Partai Tunggal
Sitem partai tunggal ini merupakan
satu-satunya partai dalam suatu negara, maupun partai yang mempunyai kedudukan
dominan diantara beberapa partai lainnya. Pola partai tunggal terdapat
dibeberapa negara Afrika (Ghana dimasa Nkrumah, Guinea, Mali, Pantai Gading),
Eropa Timur dan RRC. Suasan kepartaian dinamakan non-kompetitif oleh karena itu
partai-partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan
tidak dibenarkan bersaing secara merdeka melawan partai itu.
Negara yang paling berhasil untuk
meniadakan partai-partai lain ialah Uni Soviet. Partai komunis Uni Soviet
bekerja dalam suasana yang non-kompetitif, tidak ada partai lain yang boleh
bersaing, ataupun yang ditolerir. Oposisi dianggap sebagai pengkhianatan.
Partai tunggal serta organisasi yang bernaung dibawahnya berfungsi sebagai
pembimbing dan penggerak masyarakat dan menekankan perpaduan dari kepentingan rakyat
secara menyeluruh.
Sistem partai tunggal mengandung
kelemahan-kelemahan dalam parkteknya antara lain:
1.
Sistem partai tunggal tidak
pernah akan menjamin adanya perlindungan terhadap HAM, mengingat didalam sistem
ini selalu berbarengan dengan sistem kediktatoran dimana kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif berada pada satu tangan sehingga pelaksanaan
kekuasaannya itu berlaku sewenang-wenang. Kecenderungan lain adalah sistem
partai tunggal ini terkadang membawa bencana bagi kelangsungan demokrasi baik
bagi rakyat, bangsa, maupun negara. Hal ini bisa dilihat dinegara-negara
komunis. Demikian pula halnya sistem partai tunggal yang berdasarkan pada azas
fasisme seperti Italia Musolini dan faham Naziisme seperti Jerman Hitler.
2.
Tidak tercapainya perwujudan
masyarakat yang sejahtera. Hal ini bisa dilihat pada pemerintahan Khmer Merah
Kheu Sampan di Kamboja atau Pemerintahan Mao Tse Tung di Cina dimana rakyat
banyak yang sengsara.
3.
Tidak adanya sistem kontrol
sosial.
4.
Sistem partai tunggal tidak
mengakui doktrin-doktrin politik demokrasi yang berlaku dinegara-negara liberal
ataupun negara demokrasi lainnya.
5.
Sistem partai tunggal tidak
mengakui adanya konstitusi yang bersifat filsafat negara demokratik, struktur
organisasi negara, perubahan terhadap konstitusi negara dan hak azasi manusia.
6.
Sistem partai tunggal tidak
mengakui adanya kebebasan pers.
7.
Rakyat tidak mempunyai pilihan
lain dalam mengemukakan pendapat dan hak-haknya.
2. Sistem Dwi
Partai
Sistem dwi partai atau dua partai
merupakan adanya dua partai dalam sebuah negara atau pemerintahan atau adanya
beberapa partai tetapi dengan peranan dominan dari dua partai. Partai-partai
ini terbagi kedalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilu) dan
partai oposisi (karena kalah dalam pemilu).
Sistem dwi partai biasa disebut
dengan istilah “a convenient system for contented people” dan memang
kenyataannya sistem dwi partai dapat berjalan dengan baik apabila terpenuhi
tiga syarat; komposisi masyarakat adalah homogen, konsesus dalam masyarakat
mengenai azas dan tujuan sosial yang pokok adalah kuat, dan adanya kontinuitas
sejarah.
Negara-negara yang menganut sistem
dwi partai ini adalah Inggris dengan partai Buruh dan partai konservatifnya,
Amerika dengan partai Republik dan partai Demokrat, Jepang, dan Kanada. Sistem
dwi partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan distrik
(single-member constituency) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat
dipilih satu wakil saja. Sistem dwi partai ini mempunyai kecenderungan untuk
menghambat pertumbuhan dan perkembangan partai-partai kecil.
Kelebihan sistem dwi partai ini
antara lain:
1.
Dalam sistem distrik suara
pemilu yang dihasilkan selalu suara mayoritas,
2.
Terwujudnya stabilitas
pemerintahan yang dapat berjalan sesuai dengan kurun waktu yang telah ditetapkan,
3.
Pergantian pemerintahan dalam
sistem ini dengan pemilu sistem distrik cenderung berjalan normal,
4.
Program-program pemerintah
dapat berjalan dengan baik,
5.
Adanya keterikatan pada
konstitusi negara.
3. Sistem Multi
Partai
Sistem multi partai adalah adanya
partai-partai politik yang lebih dari dua partai dalam sebuah negara atau
pemerintahan. Sistem ini banyak dianut oleh negara-negara seperti Indonesia,
Malaysia, Belanda, Perancis, Swedia, dsb. Sistem ini lebih menitikberatkan
peranan partai pada lembaga legislatif sehingga peranan badan eksekutif sering
lemah dan ragu-ragu. Hal ini disebabkan oleh karena tidak ada satu partai yang
cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa
membentuk koalisi dengan partai-partai lain.
Beberapa kelemahan sistem multi partai ini antara
lain:
1.
Pemerintahan selalu dalam
keadaan tidak stabil,
2.
Program-program pemerintah
kurang berjalan dengan efektif,
3.
Ideologi partai politik tidak
lagi melandasi konstitusi negara atau falsafat hidup suatu bangsa, Sistem ini
cenderung lamban dalam mengembangkan pertumbuhan ekonomi makro maupun mikro,
4.
Sistem ini mengurangi fungsi
nasionalisme dalam suatu negara,
5.
Sistem ini belum pernah
melahirkan negara yang super power.
Sedangkan kelebihan dari sistem multi partai adalah:
1.
Setiap individu diberikan
kesempatan menjadi pimpinan sebuah partai politik,
2.
Kontrol sosial lebih banyak
terjadi dilakukan oleh partai-partai politik,
3.
Sistem ini memberikan
alternatif banyak pilihan pada warga negara.
pilihan
pada warga negara.
C.
Efektitivitas Sistem Kepartaian yang
Dianut oleh Negara Indonesia dikaitkan dengan Sistem Pemerintahan Presidensial.
Permasalahan efektifitas dan stabilitas pemerintah di
Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh personalitas pejabat presiden dan wakil
presiden saja. Efektivitas dan stabilitas pemerintah juga dipengaruhi oleh
sistem pemerintahan dan sistem kepartaian yang dilaksanakan. Sistem
presidensial dan sistem multi partai dengan jumlah partai yang terlalu banyak
ternyata merupakan faktor lain yang krusial. Observasi dan kajian yang
dilakukan oleh Mainwaring (2008) menunujukkan bahwa sistem presidensial yang
dikombinasikan dengan sistem multi partai yang dilaksanakan di beberapa negara
gagal untuk menciptakan pemerintahan yang ideal. Amerika Serikat berhasil
menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil karena menggunakan kombinasi
sistem presidensial dan dwi – partai.
Di Indonesia dengan
masyarakat yang sangat heterogen tidak mungkin akan dibawa menuju sistem dwi –
partai. Maka solusi yang ditawarkan adalah jalan tengah antara kombinasi sistem
presidensial dengan multi partai yang sederhana. Multi sistem partai yang
sederhana harus didukung oleh koalisi partai yang ramping, disiplin dan
mengikat.
Untuk
menyederhanakan partai politik yang ada di Indonesia terdapat dua mekanisme
yang dapat diimplementasikan secara bersamaan yaitu meningkatkan ambang batas
(PT) dan memperkecil district magnitude.
Dikutip dari artikel yang bersumber
dari metrotvnews.com Pengamat hukum dan politik dari Universitas Nusa Cendana
Kupang Nicolaus Pira Bunga mengatakan Indonesia tak cocok dengan sistem
multipartai. Hal itu dikarenakan sistem pemerintahan di Indonesia adalah
presidensil. Pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat, seharusnya lebih
kuat kedudukan politiknya. Tetapi yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya,
sehingga membuat Presiden menjadi kurang berdaya dalam menata kehidupan
berdemokrasi ke arah yang lebih baik. Mantan pembantu dekan I Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang itu mengemukakan pandangannya tersebut
terkait dengan penerapan sistem multipartai di Indonesia yang bertentangan
dengan sistem negara yang menganut paham presidensil.
Pira Bunga mengatakan penerapan
ambang batas perolehan suara di parlemen (parliamentary threshold), bukan
menjadi jaminan untuk mengurangi jumlah partai politik di Indonesia, karena
aturan untuk mendirikan partai politik di negeri ini terlalu mudah dan murah.
Penerapan parliamentary threshold sampai 10 persen pun tetap tidak akan
mengurangi jumlah parpol di Indonesia, karena parpol yang tereleminasi dari
ketentuan tersebut pasti akan mendirikan parpol baru. Perlu ada ketegasan dari
elemen bangsa untuk menetapkan jumlah parpol sebagai penyeimbang sistem
pemerintahan yang menganut paham presidensil, agar demokrasi di negeri ini
dapat bertumbuh dengan baik. Jika semua parpol telah mengakui Pancasila sebagai
asas tunggal, maka sangat elegan jika Indonesia hanya memiliki lima partai
politik dengan menggunakan simbol-simbol dari lima sila Pancasila itu sebagai
lambang partainya.
D.
Upaya Penyelesaian atas
Ketidakefektifan Sistem Kepartaian yang Dianut oleh Negara Indonesia
Tujuan utama penataan sistem politik Indonesia ditujukan
untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil maka ada beberapa alternatif
jawaban yang patut dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan. Beberapa
alternatif tersebut adalah sebagai berikut;
1.
Mengubah Sistem Presidensial menjadi
Sistem Parlemen
Sepertinya pilihan pertama ini sangat
sulit, kalau tidak dibilang mustahil, untuk dilakukan. Selain pengalaman
traumatis yang pernah dialami Indonesia pada masa demokrasi parlementer, UUD
1945 secara tegas mengamanatkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah
presidensial. Tidak mudah untuk melakukan amandemen terhadap UUD, akan
memerlukan perdebatan yang panjang dan pasti akan mendapatkan resistensi yang
sangat besar. Pilihan ini adalah tidak realistik untuk dipilih.
2. Mengubah Sistem
Kepartaian
Contoh negara yang mengimplementasikan sistem presidensial yang sukses adalah
Amerika dimana sistem presidensial di dukung oleh sistem dwi – partai. Kalau
bangsa Indonesia ingin berkiblat kepada Amerika di dalam menata sistem
politiknya maka sistem multi partai haruslah diubah menjadi sistem dwi –
partai. Tawaran solusi ini sepertinya juga sulit untuk direalisasikan karena
akan melawan arus demokrasi. Masyarakat Indonesia yang sifatnya plural tidak
akan bisa direpresentasikan oleh dua partai politik saja.
3. Mengurangi Jumlah Partai
Politik
Jumlah partai
politik yang terlalu banyak juga merupakan salah satu faktor penyumbang tidak
efektifnya sistem pemerintah di Indonesia. Banyaknya partai politik yang ikut
dalam pemilu menyebabkan koalisi yang dibangun untuk mencalonkan presiden dan
wakil presiden terlalu “gemuk” karena melibatkan banyak parpol. Gemuknya
koalisi ini mengakibatkan pemerintahan hasil koalisi tidak dapat berjalan
efektif karena harus mempertimbangkan banyak kepentingan. Jika saja partai
politik yang ikut serta pemilu tidak banyak, maka koalisi parpol yang dibangun
juga tidak akan menjadi “gemuk”. Presiden terpilih idealnya berasal dari
koalisi yang sekurang-kurangnya mendapatkan dukungan parlemen 50% dari jumlah
kursi DPR dan jumlah partai yang ikut berkoalisi tidak banyak, cukup dua atau tiga
partai saja.
Usulan solusi ini lebih moderat jika
dibandingkan dengan pilihan 1 dan 2 karena masih mempertahankan sistem
presidensial dan sistem multi partai. Hanya saja jumlah partai di Indonesia
yang terlalu banyak ini perlu disederhanakan. Penyederhanaan partai politik
sebenarnya sudah dilakukan sejak pemilu 1999 dengan mengimplementasikan ambang
batas bagi partai politik untuk ikut serta dalam pemilu berikutnya (Electoral
Threshold) dan ambang batas bagi partai politik untuk mengirimkan wakilnya
di parlemen (Parliamentary Threshold) – akan diberlakukan pada pemilu
2009.
4. Menyelenggarakan Pemilu
Presiden dan Legislatif secara Bersama-sama (Concurrent Elections)
Beberapa pengamat politik berpendapat penyelenggaraan
pemilu legislatif dan presiden secara bersama-sama, concurrent elections,
akan menciptakan pemerintahan yang efektif. Dengan concurrent elections
presiden terpilih akan mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat dan
mendapatkan dukungan yang kuat dari parlemen. Di dalam masyarakat/negara yang
menganggap pemilihan presiden lebih penting dibandingkan pemilihan legislatif,
pemilih akan cenderung memilih partai poltitik yang mencalonkan presiden yang
didukungnya. Akibatnya partai politik yang mendukung calon presiden terpilih
akan memiliki peluang besar untuk memenangkan pemilu legislatif. Dengan demikan
mayoritas anggota parlemen berasal dari partai tersebut.
Solusi yang ditawarkan
Alternatif solusi ketiga,
mengurangi jumlah partai dan dibarengi dengan koalisi partai yang disiplin dan
mengikat, adalah solusi yang paling memungkinkan dalam konteks Indonesia.
Berapa jumlah partai politik yang efektif dan ideal bagi bangsa Indonesia yang
perlu didiskusikan lebih lanjut. Beberapa pengamat mengatakan bahwa masyarakat
Indonesia cukup diwakili oleh 5 partai politik saja. Sedangkan berdasarkan
survey yang pernah diselenggarakan oleh salah satu lembaga survey jumlah partai
politik yang dikehendaki oleh publik adalah 5 - 7 partai.
Lantas mekanisme seperti apa yang
diperlukan untuk mengurangi jumlah partai politik yang ada? Ada beberapa
mekanisme yang bisa diberlakukan untuk melakukan penyederhanaan partai.
Beberapa mekanisme telah dipraktekan oleh bangsa kita. Pertama adalah melakukan
restrukturisasi seperti yang dilakukan Presiden Suharto pada tahun 1974. Kedua,
memberlakukan ambang batas (threshold). ET diberlakukan pada pemilu
2004 dan 2009. sedangkan PT diberlakukan pada pemilu 2009. ET ternyata tidak
efektif untuk menyederhanakan partai politik karena para pemimpin partai yang
tidak lolos ET bisa mendirikan partai baru untuk ikut pemilu berikutnya.
Sehingga meskipun dengan menaikkan angka persentasi ET tetap saja tidak akan
mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu. Yang efektif adalah
meningkatkan angka persentasi PT. PT lebih efektif mengurangi jumlah partai
politik peserta pemilu karena jelas “punishment” nya. Partai politik
yang tidak mampu mencapai ambang batas yang telah ditetapkan tidak
diperbolehkan untuk mengirimkan wakilnya di parlemen. di beberapa negara
memiliki angka persentase yang berbeda-beda. Di Jerman ambang batasnya adalah
5%, sedangkan di Turki sebesar 10%. Dengan ambang batas 10% Turki hanya
memiliki 3 atau 4 partai politik yang memiliki wakilnya di parlemen.
Ketiga adalah dengan
memperkecil alokasi kursi di masing-masing daerah pemilihan (district
magnitude). Semakin kecil alokasi kursi di setiap DP maka peluang partai
untuk mendapatkan kursi semakin kecil. Hanya partai-partai besar saja yang
berpeluang mendapatkan kursi. Sedangkan partai kecil dan menengah akan
kehilangan peluang untuk memenangkan persaingan. Dengan demikian pengecilan
alokasi kursi tersebut merupakan alat untuk menyeleksi partai politik yang
benar-benar mendapat dukungan dari publik. Partai politik yang tidak
mendapatkan suara signifikan secara alami didorong untuk melakukan koalisi
dengan partai lain atau akan mati karena tidak mendapatkan suara dan kursi di
parlemen.
Dua mekanisme penyederhanaan partai politik yang
terakhir – menaikan ambang batas dan memperkecil district magnitude - tersebut
tentu akan lebih efektif kalau keduanya dilaksanakan secara berbarengan. Dua
metode terakhir akan lebih diterima dibandingkan dengan metode yang pertama.
Dengan terciptanya sistem
kepartaian yang lebih sederhana maka akan mendorong koalisi partai politik yang
lebih ramping, disiplin dan mengikat. Bagaimana mekanisme untuk mendorong agar
supaya partai politik membangun koalisi yang disiplin dan mengikat? Tentu yang
pertama adalah memperbaiki disiplin internal partai politik masing-masing.
Partai politik harus mampu mengontrol anggota-anggotanya di parlemen untuk
mengikuti kebijakan partainya dalam mendukung pemerintahan. Jika perlu, partai
politik memberikan sanksi tegas kepada anggotanya di parlemen yang tidak
mendukung program dan kebijakan pemerintah. Kedua, fatsoen politik
harus ditegakkan. Para politisi yang ada di DPR dan kabinet harus sejalan dan
seiring dengan program dan kebijakan presiden. Pejabat partai politik yang
dipilih di kabinet seharusnya mengundurkan diri dari jabatan di masing-masing
partai untuk mengurangi conflict of interest. Ketiga, partai-partai politik di
dalam koalisi harus berkomitmen kuat untuk terus mendukung sampai dengan pemilu
presiden berikutnya.
BAB
III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
1.
Negara
Indonesia menganut Sistem Kepartaian Multi Partai. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah partai yang berpartisipasi dalam pemilu berjumlah lebih dari dua partai.
Di samping itu diisyaratkan pula pada pasal 6A (2) UUD
1945 yang menyatakan bahwa pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik. Dengan demikian dari pasal
tersebut di dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat
tiga partai politik.
- Dalam
sistem kepartaian terdapat 3 jenis :
a.
Sistem Partai Tunggal, yang mana pada
sistem ini hanya ada satu partai yang berkuasa pada suatu negara, sehingga
tidak ada kompetisi partai dalam negara tersebut. Namun dalam sistem ini
partai-partai kecil tidak diberi keleluasaan.
b.
Sistem Dwi Partai, yang mana dalam
partai ini hanya terdapat dua partai yang bersaing, sehingga dengan adanya
sistem ini cenderung akan menghambat perkembangan partai-partai kecil. Namun di
sisi lain program-program pemerintah akan berjalan dengan baik.
c.
Sistem Multi Partai, yang mana pada
sistem kepartaian ini terdapat lebih dari tiga partai, sehingga program-program
pemerintah cenderung tidak berjalan dengan baik. Namun sistem ini lebihmemberi
kesempatan kepada setiap individu untuk menjadi pemimpin.
- Indonesia
tidak cocok dengan sistem multipartai. Hal itu dikarenakan sistem
pemerintahan di Indonesia adalah presidensial. Pemerintahan yang dipilih
langsung oleh rakyat, seharusnya lebih kuat kedudukan politiknya. Tetapi
yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, sehingga membuat Presiden
menjadi kurang berdaya dalam menata kehidupan berdemokrasi ke arah yang
lebih baik.
- Ada
beberapa alternatif sebagai bentuk upaya penyelesaian masalah yang terjadi
di dalam sistem multi partai diantaranya :
a.
Mengubah sistem presidensial menjadi
sistem parlemen
b. Mengubah
sistem kepartaian
c. Mengurangi
jumlah partai politik
d. Melaksanakan
pemilu presiden dan legislatif secara bersama-sama
2.
SARAN
1.
Bagi
Pemerintah
Pemerintah
yang berperan sebagai penampung dan pelaksana aspirasi rakyat sebaiknya lebih
peka terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi, sehingga ketidakstabilan
perpolitikan dan kepentingan-kepentingan golongan di pemerintahan akan
terminimalisir .
2.
Bagi
Mahasiswa
Sebagai “agent
of change” setiap mahasiswa, khususnya mahasiswa PKn harus lebih peka terhadap
perkembangan perpolitikan di negara Indonesia, sehingga mahasiswa dapat
memahami dan menelaah permasalahan tersebut sehingga akan memunculkan solusi
cerdas untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di negara
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Partono.
2010. Sistem Mulati Partai,
Presidensial,dan Persoalan Efektivitas Pemerintah . Jakarta. [online]
tersedia di : http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/438-sistem-multi-partai-presidensial-dan-persoalan-efektivitas-pemerintah.html
Metrotvnews. 2011. Indonesia Dinilai Tak Cocok dengan Multipartai.
Jakarta. [Online] tersedia di: http://metrotvnews.com/metromain/newscat/polkam/2011/05/29/53063/Indonesia-Dinilai-Tak-Cocok-dengan-Multipartai.html
TrionoMuhammad. Sistem
Kepartaian. Jakarta.
[online] tersedia di : http://pojokmastri.blogspot.com/2009/04/bahan-ajar-kuliah-pertemuan-ke-7.html
Budiardjo.
2008. Dasar-dasar
Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Menurut saya detail tapi terlalu banyak dan tidak singkat
BalasHapusMenurut saya detail tapi terlalu banyak dan tidak singkat
BalasHapus